“Kakinya sudah
keluar!” seru sang bidan. Menurut abah, satu kaki sudah keluar hingga pangkal
paha dan kaki satunya baru muncul hingga pergelangan. Bidan dan dokter jaga UGD
bolak-balik nggak jelas. Salah satu
di antaranya menelpon dokter SPOG, yang lain entah melakukan apa membuat abah
berseru panic sekaligus jengkel “Bu, ini bisa dipegang dulu nggak sih?”
Seorang bidan menenangkan Abah
dan mengatakan kepada yang lain untuk segera menarik ranjang saya kea rah kamar
melahirkan. Seperti ketika melahirkan Hanan, Abah tidak diijinkan untuk
menemani, namun kali ini karena kami berada dalam kondisi yang harus ditangani
dengan segera.
Ranjang saya berada sejajar
dengan ranjang melahirkan, para bidan meminta saya untuk bergeser pindah ke
ranjang melahirkan. Saya berusaha untuk bergerak, tapi tenaga saya telah
menguap ketika melahirkan kaki tadi. Para bidan menguatkan saya, tapi saya
hanya mampu menggeleng. Akhirnya seorang bidan naik ke ranjang saya meletakkan
tangan kanan di bawah leher saya sementara tangan kiri berada di bawah lutut,
seseorang memegang punggung, lalu ada juga yang memegang kaki saya. dengan
bantuan tiga orang, yang seluruhnya wanita, saya berpindah.
Setelah kaki saya berada pada
posisi, para bidan tersebut mulai menyemangati untuk mengejan, ada pula yang
berulang kali melafalkan “laa hawla wa laa
quwwata illa billah”. Beberapa kali mengejan namun
tidak efektif membuat seseorang diantara mereka mengucapkan “Epis!”. Bidan di
samping kiri mengambil gunting, saya sudah bersiap dengan rasa sakit lalu bidan
tersebut mengembalikan gunting pada tempatnya. “He? Udah episnya?” saya bertanya dalam hati karena saya tidak
merasakan apapun. Tak sempat saya bengong
lebih lama bidan kembali menginstruksikan untuk mengejan. “Berjuang untuk
bayinya Bu!”. Saya mengejan sekuat tenaga sampai akhirnya kehabisan nafas, saya
merasakan sesuatu yang besar telah keluar, tapi ternyata
“Ayo bu, berjuang
lagi. Kepalanya belum keluar”
“APA?” teriak saya tapi hanya dalam hati
karena sudah habis tenaga untuk mengejan terakhir kali.
Mencoba untuk
mengatur nafas hingga nafas saya cukup stabil, lalu dimulai dengan tarikan nafas
panjang saya kembali mengejan.
Jika ada yang
mengandaikan melahirkan bayi seperti mengejankan sebuah semangka, itu adalah
yang saya rasakan ketika mengejankan kepala Tsani. Saya mengejan panjang sampai
seorang diantara penolong persalinan saya berseru “Alhamdulillah!” lalu
meletakkan Tsani yang pucat di atas perut saya. Tidak terdengar tangis, saya
hanya melihat kepalanya yang hampir kebiruan. Dokter jaga UGD dan perawat yang
tadi mendampingi langsung membawa Tsani keluar, kembali saya merasa waktu
berjalan lambat sampai akhirnya terdengar suara tangis bayi malam itu.
“Tadi lahir jam
berapa?” Tanya seorang bidan kepada rekannya, tapi yang ditanya hanya
menggeleng. “Mungkin sekitar jam 10.15” celetuk yang lain. Menurut Abah dari
keluar lift sampai Tsani dibawa keluar dari ruang melahirkan hanya berlangsung
sekitar 10 menit, tapi bagi saya lama sekali.
Di antara suara
bidan dan perawat yang sedang mengatur nafas terdengar dengan jelas suara Abah
yang melafalkan azan di ruang sebelah. Dan untuk pertama kalinya saya melihat
orang-orang yang tadi mengelilingi saya dengan wajah tegang kini tersenyum. Para
penolong persalinan saya tidak sempat mengganti baju seragamnya dengan pakaian
tindakan. Darah saya dan meconium Tsani menempel dibaju mereka.
Bidan mencoba
membantu untuk melahirkan plasenta (ari-ari), dua kali menyuntikkan induksi
termasuk memasang infuse tapi ternyata plasenta tidak lahir juga. Sehingga harus
dikeluarkan secara manual oleh dokter. Selama masa menunggu dokter untuk tiba,
mereka tetap menemani saya diruang melahirkan. Sempat saya minta untuk IMD dan
bidan menjelaskan bahwa kondisi saya dan Tsani sama-sama tidak stabil untuk melakukan
IMD.
Dari obrolan
mereka akhirnya saya tahu mengapa tadi saya sempat mampir ke ruang bersalin. Bidan
yang meminta untuk masuk ruang bersalin hanya mendapat info dari UGD saya masih
bukaan lengkap saja, tanpa tahu jika ketuban telah pecah dan kaki sudah lahir. Karena
memang ketuban pecah dan kaki lahir terjadi selama perjalanan dari UGD menuju
ruang bersalin. Saya cuma nyengir mendengar itu.
Seorang bidan
kembali menanyakan kepada saya, “Sudah tahu kondisi kehamilan seperti
itu, kenapa baru sekarang ke rumah sakit?” kali ini dengan nada lebih ramah dan
santai, dan hanya saya jawab jika kontraksi yang terjadi berbeda dengan
kontraksi pada proses melahirkan Hanan sehingga saya santai saja. Sayapun mengerti
kekhawatiran mereka karena proses melahirkan pervaginam pada posisi sungsang
adalah proses yang cukup beresiko sehingga seharusnya dipersiapkan secara
matang.
Dokter jaga UGD kembali ke
ruangan dan berbincang dengan bidan serta perawat sambil mereview apa yang baru
saja terjadi. “Untung nggak ada yang
tersangkut. Biasanya bahu tersangkut jika melahirkan sungsang.” Saya kemudian
menanyakan tentang kaki bayi dan dijawab bahwa semua baik.
Dokter akhirnya datang. Satu hal
yang bisa saya katakan tentang proses pengeluaran plasenta secara manual adalah
proses tersebut menyakitkan dan jika memungkinkan mintalah obat bius. Tak perlu
bertanya kepada saya detailnya, karena saya sedang berusaha tetap bersabar dan
bersyukur atas proses tersebut.
Setelah semua proses selesai saya
masih berada di ruangan itu selama 1 jam untuk observasi. Satu persatu para
penolong saya meninggalkan tempat, kembali ke pos masing-masing. Hanya seorang
bidan yang sedang merapikan ruangan, itupun kadang keluar dalam waktu yang
cukup lama. Saya dilarang tidur, tapi tidak mempunyai teman bicara. Karena saat
itu abah sedang ke PMI untuk mengurus keperluan transfusi darah saya karena HB
saya rendah.
Kami berpindah ke ruang bersalin
lagi setelah satu jam, sekitar pukul 12 malam. Pada saat itu tidak ada pasien
lain sehingga suasana cukup tenang. Berdua bersama abah, merasa sedikit aneh
karena biasanya ada Hanan ataupun Tsani yang bergerak-gerak di perut. Tsani
berada di ruang observasi, keesokan harinya saya menemuinya di NICU dan
ternyata Tsani harus berada di incubator selama 2 hari.
Sekitar pukul 7 pagi, sebelum meninggalkan
kamar bersalin untuk menuju kamar perawatan kami berpamitan pada bidan jaga
yang membantu, sekaligus meminta maaf atas segala kehebohan yang terjadi.
Kami bersyukur telah melewati
semua proses tersebut. Semua yang terjadi merupakan kemudahan yang diberikan
oleh Allah Swt. Usaha-usaha yang kami lakukan sama sekali tidak merujuk pada
kemudahan dalam melahirkan sungsang karena yang kami usahakan posisi vertex,
tapi Allah yang menentukan untuk kami melahirkan pada posisi sungsang dengan
mudahnya. Saya bahkan sama sekali tidak mempelajari tentang melahirkan
pervaginam untuk sungsang. Hanya abah yang membaca dan menyampaikan sekilas
kepada saya yang pada saat itu sama sekali tidak tertarik untuk mempelajarinya.
Saya baru membaca tentang persalinan sungsang ketika menyusun tulisan ini.
Jadikan kami orang yang selalu bersyukur dan bersabar atas tiap
ketetapanMu. Setiap capaian yang Engkau berikan bukan karena usaha dan doa
kami, melainkan semua adalah ketetapanMe. Kami berdoa dan berusaha dalam rangka
menaati perintahMu.
Tulisan ini disusun hanya sebagai
sarana berbagi pengalaman saja, bukan untuk dijadikan rujukan. Setelah mempelajari
tentang persalinan sungsang, sepertinya sebagian besar dokter tetap akan
menyarankan untuk mengambil tindakan operasi terjadwal dengan kondisi saya dan
saya berencana untuk mengikuti saran mereka. Tetapi melahirkan normal pada posisi
sungsang masih sangat mungkin dilakukan. Saya adalah wanita generasi ketiga
yang melahirkan sungsang (saya tidak tahu apakah nenek buyut saya melahirkan
sungsang atau tidak). Nenek saya melahirkan salah satu anaknya dengan sungsang,
mama saya melahirkan adik bungsu saya yang sungsang.
Beberapa saran saya setelah
melewati seluruh proses ini adalah
1. Lakukan
kunjungan ke dokter/bidan minimal 3 kali selama masa kehamilan, pada awal
kehamilan, pertengahan, dan akhir. Jika di awal trimester III, diketahui bahwa
janin “malposisi” lakukan usaha untuk membantu bayi berputar hingga berada pada
posisinya. Sebagian besar janin memang akan berputar dengan sendirinya. Tapi tak
ada ruginya untuk bersujud lebih lama, melakukan invertion karena latihan
tersebut bisa meringankan beban pelvic.
2. Jika
pada akhirnya posisi janin masih sungsang dan kemungkinan berputar makin kecil
diskusikan pada tenaga kesehatan tentang rencana persalinan yang diinginkan. Beberapa
“syarat” melahirkan sungsang antara lain:
a.
Janin tidak terlalu besar, 2500-3500 gram
(terpenuhi, Tsani 3200 gram)
b.
Panggul ibu cukup besar (sepertinya terpenuhi)
c.
Tidak ada kelainan jalan lahir (terpenuhi)
d.
Kontraksi dan bukaan lancar (terpenuhi)
e.
Pembukaan lengkap (terpenuhi)
f.
Posisi janin memungkinkan
Biasanya yang “diijinkan”
untuk mencoba adalah ketika bayi berada pada posisi “letak bokong/frank breech”
dimana pantat bayi masuk ke panggul sedangkan kakinya memanjang ke atas. Posisi
“sungsang sempurna/complete breech” dimana janin seperti berjongkok di dalam
panggul. Posisi lain ada “sungsang sebagian/incomplete/footling breech” dimana
salah satu kaki memasuki panggul. Posisi Tsani sendiri masih oblique hingga
bukaan lengkap, tapi kedua kaki sudah masuk jalan lahir, jadi yang paling
menggambarkan mungkin posisi sungsang sebagian.
3. Jika
telah diputuskan untuk menjalani persalinan sungsang dengan normal, usahakan
berada dalam kondisi rileks ketika kala persalinan I karena ketika santai
kemungkinan kemunduran persalinan lebih rendah. Persiapkan tenaga ekstra,
karena persalinan sungsang membutuhkan tenaga yang lebih besar disbanding persalinan
pada posisi kepala.
4. Jika
ternyata proses melahirkan tidak berjalan sesuai dengan harapan kita, cobalah
untuk mengikhlaskan. Jangan terjebak dengan rasa menyesal apalagi di awal-awal
melahirkan karena saat itu bayi sangat membutuhkan kehadiran ibunya. Dan produksi
ASI juga terkait erat dengan pengelolaan emosi. Mintalah dukungan kepada orang-orang
yang akan menemani kita setelah melahirkan. Sampaikan apa yang kita inginkan
sehingga mereka akan memberikan dukungan.