Sabtu, 17 Mei 2014

Sewing Projects

Beberapa hasil jahitan saya yg fotonya masih tersimpan di hp. Semoga lain kali bisa menuliskan 'sew along' proyek berikutnya.

Senin, 05 Mei 2014

Jarang Romantis



Beberapa bulan lalu, ketika jam pulang kantor saya dan si sulung (2 tahun) mampir ke tempat kerja suami. Setelah pekerjaan hari itu selesai kami bertiga ke parkiran motor untuk kemudian pulang. Saat bersiap naik motor, suami membantu saya untuk memakai helm karena tangan saya sedang memegang si sulung, tiba-tiba dari belakang kami terdengar “Cieee… romantisnya!” yang ternyata teman-teman kantor suami yang masih berstatus sebagai lajang. Suami langsung membalas “Makanya cepet nikah,” sementara saya hanya nyengir.
Dalam perjalanan pulang terjadi monolog di kepala saya.
Emang makein helm romantis ya?”
“Iya sih romantis, tapi mengapa nggak terasa romantis ya?”
Akhirnya saya berkesimpulan karena saya sudah terbiasa dengan itu sehingga greget romantisnya berkurang. Seperti halnya dulu sebelum menikah saya selalu terkesan ketika menyaksikan di sinetron/drama/film dimana tokoh pria menyiapkan masakan special untuk wanita pujaan hati, tapi setelah menikahi seorang pria yang hobi masak saya menjadi “biasa saja” ketika menyaksikan itu semua.
Kesimpulan lanjutan saya adalah bahwa sebagian besar wanita (atau paling tidak saya sendiri) akan menganggap sesuatu romantis jika hal tersebut jarang terjadi. Seperti teman-teman kantor suami yang mengatakan romantis terhadap tindakan kecil kami karena mungkin mereka jarang mengalami.
Sejak peristiwa tersebut, ditambah hasil mengikuti posting di Sekolah Pernikahan, saya kembali mencoba lebih menghargai setiap tindakan suami. Berusaha memberikan sikap terbaik atas hal-hal yang biasa suami lakukan, menjadikannya sesuatu yang luar biasa. Ketika ngambek karena merasa sebal dengan suami berusaha mengingat kebaikan suami, bahwa suami romantis dengan cara yang tidak biasa.
Pada kesempatan lain nonton K-drama bareng suami, pas ada adegan pemeran utama pria dan wanita melihat kembang api bersama, saya nyletuk “Wah romantisnya.” Niat hati nyletuk demikian agar suami ngajakin nonton kembang api. Tapi suami malah jawab ”emang kayak gitu romantis?”. Saya kehilangan kata-kata. Ingin rasanya protes , tapi akhirnya berfikir, jangan-jangan saya menganggap suami tidak romantis karena kami mempunyai pengertian yang berbeda tentang romantis.
So, ibu-ibu, jika merasa suami tidak romantis, jangan-jangan frekuensi kita dengan pasangan tidak sama dalam hal romantis. Wanita biasanya menganggap hal-hal yang sering dilakukan pemeran utama dalam drama adalah hal romantis, sementara pria? Entahlah, belum sempat saya Tanya ke suami bagaimana pendapatnya tentang romantis. Dan karena pria di dunia nyata tidak mempunyai sutradara dan penulis scenario yang akan mengarahkan mereka untuk bertindak romantis ala drama, jadi sebaiknya jangan gunakan standar drama untuk menilai keromantisan pasangan kita.
Terakhir, untuk lelakiku yang mencintaiku dengan caranya yang tidak biasa, yang selalu romantis setiap harinya (meski terkadang lupa bahwa dirimu lelaki ter-romantis sedunia)
Happy anniversary dear…
Terima kasih atas segala kesabaranmu
Terima kasih atas pengertianmu
Terima kasih telah membuatku merasa wanita teristimewa dengan caramu yang sederhana
Terima kasih telah memilih dan menerimaku
Terima kasih kau cinta aku
Terima kasih untuk 4 tahun perjalanan yang luar biasa
Terima kasih
Aku mencintaimu, suamiku.


Tulisan ini dimuat di web Sekolah Pernikahan

Selasa, 29 April 2014

Cerita Kelahiran Tsani: A Whole New Experience (Bagian III)



“Kakinya sudah keluar!” seru sang bidan. Menurut abah, satu kaki sudah keluar hingga pangkal paha dan kaki satunya baru muncul hingga pergelangan. Bidan dan dokter jaga UGD bolak-balik nggak jelas. Salah satu di antaranya menelpon dokter SPOG, yang lain entah melakukan apa membuat abah berseru panic sekaligus jengkel “Bu, ini bisa dipegang dulu nggak sih?”
Seorang bidan menenangkan Abah dan mengatakan kepada yang lain untuk segera menarik ranjang saya kea rah kamar melahirkan. Seperti ketika melahirkan Hanan, Abah tidak diijinkan untuk menemani, namun kali ini karena kami berada dalam kondisi yang harus ditangani dengan segera.
Ranjang saya berada sejajar dengan ranjang melahirkan, para bidan meminta saya untuk bergeser pindah ke ranjang melahirkan. Saya berusaha untuk bergerak, tapi tenaga saya telah menguap ketika melahirkan kaki tadi. Para bidan menguatkan saya, tapi saya hanya mampu menggeleng. Akhirnya seorang bidan naik ke ranjang saya meletakkan tangan kanan di bawah leher saya sementara tangan kiri berada di bawah lutut, seseorang memegang punggung, lalu ada juga yang memegang kaki saya. dengan bantuan tiga orang, yang seluruhnya wanita, saya berpindah.
Setelah kaki saya berada pada posisi, para bidan tersebut mulai menyemangati untuk mengejan, ada pula yang berulang kali melafalkan laa hawla wa laa quwwata illa billah”. Beberapa kali mengejan namun tidak efektif membuat seseorang diantara mereka mengucapkan “Epis!”. Bidan di samping kiri mengambil gunting, saya sudah bersiap dengan rasa sakit lalu bidan tersebut mengembalikan gunting pada tempatnya. “He? Udah episnya?” saya bertanya dalam hati karena saya tidak merasakan apapun. Tak sempat saya bengong lebih lama bidan kembali menginstruksikan untuk mengejan. “Berjuang untuk bayinya Bu!”. Saya mengejan sekuat tenaga sampai akhirnya kehabisan nafas, saya merasakan sesuatu yang besar telah keluar, tapi ternyata
“Ayo bu, berjuang lagi. Kepalanya belum keluar”
APA?” teriak saya tapi hanya dalam hati karena sudah habis tenaga untuk mengejan terakhir kali.
Mencoba untuk mengatur nafas hingga nafas saya cukup stabil, lalu dimulai dengan tarikan nafas panjang saya kembali mengejan.
Jika ada yang mengandaikan melahirkan bayi seperti mengejankan sebuah semangka, itu adalah yang saya rasakan ketika mengejankan kepala Tsani. Saya mengejan panjang sampai seorang diantara penolong persalinan saya berseru “Alhamdulillah!” lalu meletakkan Tsani yang pucat di atas perut saya. Tidak terdengar tangis, saya hanya melihat kepalanya yang hampir kebiruan. Dokter jaga UGD dan perawat yang tadi mendampingi langsung membawa Tsani keluar, kembali saya merasa waktu berjalan lambat sampai akhirnya terdengar suara tangis bayi malam itu.
“Tadi lahir jam berapa?” Tanya seorang bidan kepada rekannya, tapi yang ditanya hanya menggeleng. “Mungkin sekitar jam 10.15” celetuk yang lain. Menurut Abah dari keluar lift sampai Tsani dibawa keluar dari ruang melahirkan hanya berlangsung sekitar 10 menit, tapi bagi saya lama sekali.
Di antara suara bidan dan perawat yang sedang mengatur nafas terdengar dengan jelas suara Abah yang melafalkan azan di ruang sebelah. Dan untuk pertama kalinya saya melihat orang-orang yang tadi mengelilingi saya dengan wajah tegang kini tersenyum. Para penolong persalinan saya tidak sempat mengganti baju seragamnya dengan pakaian tindakan. Darah saya dan meconium Tsani menempel dibaju mereka.
Bidan mencoba membantu untuk melahirkan plasenta (ari-ari), dua kali menyuntikkan induksi termasuk memasang infuse tapi ternyata plasenta tidak lahir juga. Sehingga harus dikeluarkan secara manual oleh dokter. Selama masa menunggu dokter untuk tiba, mereka tetap menemani saya diruang melahirkan. Sempat saya minta untuk IMD dan bidan menjelaskan bahwa kondisi saya dan Tsani sama-sama tidak stabil untuk melakukan IMD.
Dari obrolan mereka akhirnya saya tahu mengapa tadi saya sempat mampir ke ruang bersalin. Bidan yang meminta untuk masuk ruang bersalin hanya mendapat info dari UGD saya masih bukaan lengkap saja, tanpa tahu jika ketuban telah pecah dan kaki sudah lahir. Karena memang ketuban pecah dan kaki lahir terjadi selama perjalanan dari UGD menuju ruang bersalin. Saya cuma nyengir mendengar itu.
Seorang bidan kembali menanyakan kepada saya, “Sudah tahu kondisi kehamilan seperti itu, kenapa baru sekarang ke rumah sakit?” kali ini dengan nada lebih ramah dan santai, dan hanya saya jawab jika kontraksi yang terjadi berbeda dengan kontraksi pada proses melahirkan Hanan sehingga saya santai saja. Sayapun mengerti kekhawatiran mereka karena proses melahirkan pervaginam pada posisi sungsang adalah proses yang cukup beresiko sehingga seharusnya dipersiapkan secara matang.
Dokter jaga UGD kembali ke ruangan dan berbincang dengan bidan serta perawat sambil mereview apa yang baru saja terjadi. “Untung nggak ada yang tersangkut. Biasanya bahu tersangkut jika melahirkan sungsang.” Saya kemudian menanyakan tentang kaki bayi dan dijawab bahwa semua baik.
Dokter akhirnya datang. Satu hal yang bisa saya katakan tentang proses pengeluaran plasenta secara manual adalah proses tersebut menyakitkan dan jika memungkinkan mintalah obat bius. Tak perlu bertanya kepada saya detailnya, karena saya sedang berusaha tetap bersabar dan bersyukur atas proses tersebut.
Setelah semua proses selesai saya masih berada di ruangan itu selama 1 jam untuk observasi. Satu persatu para penolong saya meninggalkan tempat, kembali ke pos masing-masing. Hanya seorang bidan yang sedang merapikan ruangan, itupun kadang keluar dalam waktu yang cukup lama. Saya dilarang tidur, tapi tidak mempunyai teman bicara. Karena saat itu abah sedang ke PMI untuk mengurus keperluan transfusi darah saya karena HB saya rendah.
Kami berpindah ke ruang bersalin lagi setelah satu jam, sekitar pukul 12 malam. Pada saat itu tidak ada pasien lain sehingga suasana cukup tenang. Berdua bersama abah, merasa sedikit aneh karena biasanya ada Hanan ataupun Tsani yang bergerak-gerak di perut. Tsani berada di ruang observasi, keesokan harinya saya menemuinya di NICU dan ternyata Tsani harus berada di incubator selama 2 hari.
Sekitar pukul 7 pagi, sebelum meninggalkan kamar bersalin untuk menuju kamar perawatan kami berpamitan pada bidan jaga yang membantu, sekaligus meminta maaf atas segala kehebohan yang terjadi.
Kami bersyukur telah melewati semua proses tersebut. Semua yang terjadi merupakan kemudahan yang diberikan oleh Allah Swt. Usaha-usaha yang kami lakukan sama sekali tidak merujuk pada kemudahan dalam melahirkan sungsang karena yang kami usahakan posisi vertex, tapi Allah yang menentukan untuk kami melahirkan pada posisi sungsang dengan mudahnya. Saya bahkan sama sekali tidak mempelajari tentang melahirkan pervaginam untuk sungsang. Hanya abah yang membaca dan menyampaikan sekilas kepada saya yang pada saat itu sama sekali tidak tertarik untuk mempelajarinya. Saya baru membaca tentang persalinan sungsang ketika menyusun tulisan ini.
Jadikan kami orang yang selalu bersyukur dan bersabar atas tiap ketetapanMu. Setiap capaian yang Engkau berikan bukan karena usaha dan doa kami, melainkan semua adalah ketetapanMe. Kami berdoa dan berusaha dalam rangka menaati perintahMu.
Tulisan ini disusun hanya sebagai sarana berbagi pengalaman saja, bukan untuk dijadikan rujukan. Setelah mempelajari tentang persalinan sungsang, sepertinya sebagian besar dokter tetap akan menyarankan untuk mengambil tindakan operasi terjadwal dengan kondisi saya dan saya berencana untuk mengikuti saran mereka. Tetapi melahirkan normal pada posisi sungsang masih sangat mungkin dilakukan. Saya adalah wanita generasi ketiga yang melahirkan sungsang (saya tidak tahu apakah nenek buyut saya melahirkan sungsang atau tidak). Nenek saya melahirkan salah satu anaknya dengan sungsang, mama saya melahirkan adik bungsu saya yang sungsang.
Beberapa saran saya setelah melewati seluruh proses ini adalah
1.       Lakukan kunjungan ke dokter/bidan minimal 3 kali selama masa kehamilan, pada awal kehamilan, pertengahan, dan akhir. Jika di awal trimester III, diketahui bahwa janin “malposisi” lakukan usaha untuk membantu bayi berputar hingga berada pada posisinya. Sebagian besar janin memang akan berputar dengan sendirinya. Tapi tak ada ruginya untuk bersujud lebih lama, melakukan invertion karena latihan tersebut bisa meringankan beban pelvic.
2.       Jika pada akhirnya posisi janin masih sungsang dan kemungkinan berputar makin kecil diskusikan pada tenaga kesehatan tentang rencana persalinan yang diinginkan. Beberapa “syarat” melahirkan sungsang antara lain:
a.       Janin tidak terlalu besar, 2500-3500 gram (terpenuhi, Tsani 3200 gram)
b.      Panggul ibu cukup besar (sepertinya terpenuhi)
c.       Tidak ada kelainan jalan lahir (terpenuhi)
d.      Kontraksi dan bukaan lancar (terpenuhi)
e.      Pembukaan lengkap (terpenuhi)
f.        Posisi janin memungkinkan
Biasanya yang “diijinkan” untuk mencoba adalah ketika bayi berada pada posisi “letak bokong/frank breech” dimana pantat bayi masuk ke panggul sedangkan kakinya memanjang ke atas. Posisi “sungsang sempurna/complete breech” dimana janin seperti berjongkok di dalam panggul. Posisi lain ada “sungsang sebagian/incomplete/footling breech” dimana salah satu kaki memasuki panggul. Posisi Tsani sendiri masih oblique hingga bukaan lengkap, tapi kedua kaki sudah masuk jalan lahir, jadi yang paling menggambarkan mungkin posisi sungsang sebagian.

3.       Jika telah diputuskan untuk menjalani persalinan sungsang dengan normal, usahakan berada dalam kondisi rileks ketika kala persalinan I karena ketika santai kemungkinan kemunduran persalinan lebih rendah. Persiapkan tenaga ekstra, karena persalinan sungsang membutuhkan tenaga yang lebih besar disbanding persalinan pada posisi kepala.
4.       Jika ternyata proses melahirkan tidak berjalan sesuai dengan harapan kita, cobalah untuk mengikhlaskan. Jangan terjebak dengan rasa menyesal apalagi di awal-awal melahirkan karena saat itu bayi sangat membutuhkan kehadiran ibunya. Dan produksi ASI juga terkait erat dengan pengelolaan emosi. Mintalah dukungan kepada orang-orang yang akan menemani kita setelah melahirkan. Sampaikan apa yang kita inginkan sehingga mereka akan memberikan dukungan.

Jumat, 25 April 2014

Cerita Kelahiran Tsani: A Whole New Experience (Bagian II)



Tanggal 18 pagi, setelah mengantar Hanan ke TPA meluncur ke hotel tempat diselenggarakannya event kantor. Sebelum acara dimulai duduk-duduk membantu bagian penerima tamu, beberapa kali mendesis karena mules. Seorang teman bertanya khawatir “udah mulai kontraksi?” dan saya jawab dengan santai jika ini hanya mules karena diare. Dan akhirnya ke toilet, “bersemedi” cukup lama karena mules yang hilang timbul. Acara dimulai dan saya lebih memilih duduk, dan bersyukur saya tidak menjadi bagian tim dokumentasi. Mungkin ketua panitia tidak tega jika harus melihat bumil buncit nenteng kamera dslr sambil nungging-ngungging untuk ngambil gambar.
 
10 jam jelang melahirkan
Di tengah-tengah acara saya mulai menyadari jika janin tidak bergerak. Dicolek-colekpun tidak membalas. Berusaha menenangkan diri sambil berfikir janin diam karena suara di luar cukup berisik dan keras. Setelah acara selesai yang bertepatan dengan jam makan siang, pulang ke rumah untuk istirahat. Setelah sholat, sambil merebahkan badan meminta abah untuk mencari detak jantung janin (dari kehamilan pertama abah selalu berhasil mendeteksi suara detak jantung janin diantara suara detak jantung dan perut ummah), setelah mencari-cari agak lama dengan menempelkan telinga ke perut Alhamdulillah terdengar, dan normal. Awalnya tidak ingin kembali ke kantor agar bisa istirahat di rumah sambil mengerjakan berita event kantor yang baru terselenggara, tapi karena listrik padam dan baterai laptop tidak dalam kondisi penuh akhirnya memutuskan kembali ke kantor.

Pukul 17.30 sampai ke rumah sepulang dari kantor dan listrik masih belum juga menyala. Menidurkan Hanan, menelpon Mama di Jawa menanyakan beberapa barang titipan untuk dibawa ketika berangkat ke Pekanbaru, mengobrol dengan abah sambil diselingi berkali-kali ke kamar mandi dalam keadaan gelap. Saat itu hanya berfikir tadi siang salah makan ketika acara di hotel. Makin lama makin sering ke kamar mandi tapi sakitnya masih bisa ditahan. Sekitar jam 8 malam sudah mulai membicarakan kemungkinan jika berangkat malam ini. Semua barang yang dibutuhkan untuk ke rumah sakit sudah disiapkan beberapa hari sebelumnya. Tapi kami belum siap, karena rencana-rencana yang telah kami susun. Sempat abah mengatakan jika memang masih bisa bertahan tetap tinggal di rumah saja, khawatir pihak rumah sakit over reacted, saya sendiri juga mengatakan jika berangkat sekarang pasti akan langsung operasi, sedangkan kami merasa belum siap jika harus menjalani operasi malam itu juga.

Sekitar jam 9 merasa jika sudah harus ke rumah sakit karena rasa sakit semakin intens, memutuskan untuk berangkat menggunakan motor dan menitipkan Hanan ke rumah pengurus TPA. Setelah sholat isya’ dengan duduk karena khawatir jika kontraksi muncul ketika sedang berdiri, bolak balik jalan di dalam rumah mempersiapkan hal-hal kecil yang belum masuk ke dalam tas, jika tiba-tiba kontraksi muncul ambil posisi sujud untuk meringankan rasa mules. Tepat ketika hendak menenteng tas untuk dibawa keluar sebuah kontraksi disertai nyeri di bagian pelvic membuat saya kehilangan tenaga untuk berdiri dan langsung merubah rencana keberangkatan: minta tolong diantar dengan mobil pemilik kontrakan. Alhamdulillah, dengan sigap mereka membantu. Setelah mampir di TPA, perjalanan ke rumah sakit dilanjutkan.

Beberapa kali kontraksi dating, hingga ketika di mobil saya masih berpikir bahwa mulas saya adalah mulas diare. Dengan pikiran tidak ingin mengotori jok mobil dan bahwa yang mengantar saya adalah ibu hamil muda dan tidak ingin meninggalkan kesan bahwa melahirkan adalah peristiwa menyakitkan untuknya (setelah melahirkan baru saya tahu jika yang hamil adalah kakaknya, bukan yang mengantar saya malam itu), saya bisa menahan diri untuk tidak melepaskan otot-otot sphincter, mengatur napas, dan meminta abah untuk menekan sebuah titik di bagian bahu untuk mengurangi rasa sakit.

Tiba di lobi rumah sakit, satpam dengan sigap menanyakan keperluan ketika pintu mobil terbuka, begitu mendengar bahwa aka nada yang melahirkan, satpam tersebut langsung mengambil kursi roda yang menempatkannya di depan pintu di sebelah saya. sebelum berpindah ke kursi roda sebuah kontraksi muncul lagi, setelah hilang baru saya keluar dari mobil dan duduk di kursi roda. Satpam dan seorang perawat yang mendampingi mengantar ke UGD, sementara abah diminta ke bagian administrasi.

Ketika di UGD saya masih bisa menjawab semua pertanyaan yang diberikan oleh perawat dan dokter jaga tentang rentang kontraksi (yang saya tidak terlalu yakin saya jawab dengan benar karena ketika itu relatifitas waktu bagi saya sangat membingungkan), usia kehamilan, dokter yang menangani, alergi obat, rencana operasi, alasan operasi. Seorang bidan meraba perut saya dan kembali menanyakan kenapa harus operasi padahal posisi oblique dan menunjuk bagian kepala yang berada di panggul kiri. Dia menyatakan bahwa masih bisa dibantu normal jika digeser, sambil “mengoyang” janin yang masih di dalam perut saya. saya langsung menjawab jika yang dipegang olehnya bukanlah kepala melainkan pantat, sedangkan kepala berada di sini sambil menunjuk rusuk kanan saya. Dari pernyataan bidan tersebut saya menyimpulkan, jika semua yang hanya melihat dan meraba perut saya akan tertipu karena berfikir bahwa posisi pantat di isi oleh kepala, sedangkan posisi kepala di isi oleh pantat janin, dan ada 5 orang yang tertipu. Setelah itu dating seorang perawat untuk mengambil sample darah.

Semua berlangsung tenang sampai seorang bidan dating untuk melakukan pemeriksanaan dalam dan menyatakan bahwa saya sudah pembukaan lengkap. Saya mendengar salah satu orang di antara meraka menelpon bagian kamar bersalin untuk mempersiapkan diri. Seorang perawat menanyakan sesuatu ke bidan yang melakukan VT dan dijawab “Saya nggak berani sentuh. Yang di bawah bukan kepala. Bergerak, mungkin tangan atau kaki.”
Ditengah kegaduhan ruang UGD akhirnya abah menemani saya setelah menyelesaikan urusan administrasi. Seorang bidan “memarahi” abah, “Bapak ini bagaimana? Sudah tahu kondisi kehamilan seperti itu, kenapa baru sekarang ke rumah sakit?”
Tirai penyekat di buka, seorang perawat mulai menarik tempat tidur yang saya tempati. Sebuah kontraksi mulai muncul, ketika melihat gelagat saya perawat tersebut langsung berseru “Bu, jangan ngejan! Nanti ketuban pecah, posisi bayi sungsang bu.” Entah mengapa saya yang sedari awal bisa mengontrol diri untuk tidak mengejan, mendengar ucapan perawat tadi saya malah ingin sekali mengejan. Abah yang berada di samping saya menguatkan untuk tidak mengejan, yang lagi-lagi bagi saya terima sebagai perintah untuk mengejan. 
Dan..

“Pecah!” seru saya ketika merasakan guyuran air ketuban.

Ranjang saya didorong ke lift untuk menuju ruang bersalin di lantai 2. Di lift saya ditemani perawat sementara abah naik lewat tangga. Kembali perawat mengingatkan untuk tidak mengejan “Bu, jangan mengejan. Kasihan jika bayinya keluar, itu kaki yang di bawah.” Lagi-lagi kata ‘jangan’ seolah-olah menjadi sebuah perintah, sayapun mengejan. Dalam sekali mengejan saya merasakan sesuatu telah keluar tapi tidak bergerak.

Dalam detik-detik yang terasa panjang, ditengah koridor dalam perjalanan menuju ruang bersalin saya mulai merasakan tendangan di paha saya membuat saya berseru penuh kelegaan karena mengetahui bahwa yang keluar tersebut hidup “Bergerak!”

Dengan gerak serba cepat, ranjang di dorong menuju ke ruang melahirkan. Tapi bidan jaga di ruang bersalin meminta untuk masuk ke ruang bersalin dulu. Begitu masuk ke ruang bersalin dan satpam yang membantu mendorong ranjang keluar dari ruangan, bidan membuka selimut saya dan panic sesi dua dimulai. 

“Kakinya sudah keluar!” seru sang bidan. Menurut abah, satu kaki sudah keluar hingga pangkal paha dan kaki satunya baru muncul hingga pergelangan. Bidan dan dokter jaga UGD bolak-balik nggak jelas. Salah satu di antaranya menelpon dokter SPOG, yang lain entah melakukan apa membuat abah berseru panic sekaligus jengkel “Bu, ini bisa dipegang dulu nggak sih?”

Cerita Kelahiran Tsani: A Whole New Experience (Bagian I)


Pernah melahirkan normal satu kali tidak membuat saya menjadi orang yang berpengalaman melahirkan, karena setiap peristiwa hamil-bersalin-melahirkan-menyusui bisa menjadi rangkaian yang selalu berbeda meskipun dialami oleh wanita yang sama.
Kehamilan yang ketiga ini merupakan sebuah kehamilan yang diharapkan tapi tidak direncanakan. Diharapkan setelah kejadian blighted ovum pada kehamilan kedua, tidak direncanakan karena kami masih dalam masa penyusuan anak pertama.

Dari kehamilan pertama kami merencanakan untuk menyusui Hanan paling tidak selama 3 tahun, oleh karenanya ketika hamil kami memutuskan untuk tetap menyusui selama hamil atau nursing while pregnant (NWP). Kontraksi ringan menjadi hal yang biasa, dan proses menyusui terus berjalan hingga bulan ketujuh kehamilan berakhir, karena ketika itu saya terpaksa menginap di rumah sakit dan menjadi menyakitkan jika Hanan tetap menyusu.

Usia kehamilan tujuh bulan dengan melihat hasil USG, dokter menyatakan posisi janin oblique dengan kepala di rusuk kanan dan pantat di atas panggul kiri. Dokter menyarankan untuk memperlama sujud guna membantu bayi berputar. Dua minggu kemudian mengunjungi bidan yang kami rencanakan akan membantu persalinan. Melalui perabaan perut bidan menyatakan posisi masih oblique tapi kepala sudah ada dibawah.

Pada kunjungan ke dokter berikutnya, pada saat UK 8 bulan, dokter menyatakan  posisi masih oblique dengan kepala di atas. Dan kali dokter sudah menyarankan untuk mengambil pilihan SC, karena kemungkinan untuk bayi berputar semakin kecil.

Galau? Tentu. Akhirnya memutuskan untuk menemui dokter lain untuk mendapatkan pendapat kedua. Kali ini kami menemui dokter yang sudah dikenal pro normal. Dokter tersebut terkenal dengan antrian hingga dini hari dan booking-nomor-hari-ini-untuk-periksa-bulan-depan, tapi dengan kekuatan silahturahmi  ;)  kami mendapat nomor antrian khusus sore untuk hari itu juga. Diagnosis dokter keduapun sama, tapi di akhir sesi konsultasi dokter menyatakan tetap bisa melahirkan normal meskipun posisi sungsang.

Pada saat itu kami bingung, apakah kami akan membantu bayi berada pada posisi sungsang sempurna dengan kepala di atas, atau turun pada posisi vertex, atau langsung ambil keputusan untuk SC. Bahkan saya sendiri bingung harus meminta apa dalam doa saya. Ada ketakutan saya akan kecewa ketika saya meminta untuk lahir normal ternyata Allah berkehendak untuk saya melahirkan untuk SC. Saya takut bahwa saya tidak bisa menerima apapun yang Allah berikan, juga takut berharap terlalu tinggi bahwa bayi akan berputar kemudian lahir normal. Sampai akhirnya saya hanya mampu berdoa agar saya selalu bersyukur dan bersabar dengan semua proses persalinan yang harus saya hadapi. Jika ada ungkapan “man propose, Allah dispose” maka proposal saya waktu itu hanya berisi harapan tentang sabar dan syukur. Tidak ada visualisasi bahwa janin berputar, lalu saya akan melahirkan nyaman dll. Karena saya tahu diri saya sendiri, jika saya sangat berharap akan sesuatu tapi keputusan Allah lain saya pasti akan kecewa. Dan saya tidak ingin larut dalam kecewa di awal-awal masa menyusui dimana manajemen stress sangat dibutuhkan.

Meski tidak berharap terlalu tinggi, kami tetap mengusahakan secara maksimal. Selama satu bulan kami melakukan banyak hal untuk membantu janin berputar. Knee-chest, invertion, rebozo, memancing dengan cahaya senter, kompres panas dingin, mengoles peppermint essential oil dan lainnya. Kami juga mengunjungi paraji yang bisa membantu memutar bayi. Sang paraji tidak melakukan pijatan yang secara nyata memutar bayi, hanya memposisikan bayi sehingga lebih mudah berputar, proses pemijatan juga tidak berlangsung lama karena kami pijat pagi di hari kerja. Keesokkan harinya ketika pijat lagi, beliau mengatakan bayi sudah berputar, yang awalnya posisi pantat telah diisi kepala. Ternyata ketika periksa USG keesokan harinya posisi janin sama sekali tidak berubah -_- . Namun demikian kami tidak merasa rugi dengan semua usaha yang dilakukan. Semua kegiatan tersebut, terutama pijat, berhasil meringankan tekanan di pelvic dan membantu kami melewati masa-masa hamil tua dimana kaki kecil janin yang kadang menendang sendi paha dan membuat kehilangan keseimbangan.

Pada kunjungan terakhir ke dokter pertama, posisi janin tidak berubah. Kami mulai membicarakan tentang scenario operasi. Sebenarnya kami ingin menanti sampai kontraksi muncul, tapi dokter menyarankan untuk operasi terjadwal karena khawatir tali pusat membumbung, yaitu keadaan dimana ketuban telah pecah dan tali pusat keluar. Resiko ini lebih besar pada janin dengan posisi sungsang disbanding dengan bayi pada posisi vertex. Pada posisi vertex jalan lahir tertutup oleh kepala bayi sehingga celah yang tersedia lebih kecil, sedangkan pada posisi sungsang masih celah yang tersedia lebih besar karena jalan lahir tidak tertutup sempurna. Apalagi posisi kami berada oblique dimana tidak ada yang menghalangi jalan lahir.

Kamipun melakukan kunjungan akhir (15 Februari 2014) ke dokter kedua. Dokter menyatakan tidak bisa memutar bayi dari luar dengan metode ECV (External Cephalic Version) karena posisi kepala janin berdekatan dengan plasenta. Kemungkinan untuk sungsang sempurna juga tidak memungkinkan karena posisi plasenta berada di atas sehingga bayi tidak bisa masuk. Satu-satunya harapan (ketika itu) untuk lahir normal adalah bayi berputar pada posisi vertex. Dokter menyatakan untuk operasi jika posisi janin tidak berubah, dokter tidak memberikan opsi melahirkan normal jika masih oblique dengan kepala di atas. Dokter juga menyatakan untuk operasi terjadwal ketika kami menanyakan kemungkinan untuk operasi ketika sudah masuk kala persalinan karena khawatir fetal distress. 

Diskusi kami menghasilkan untuk operasi terjadwal tanggal 22 Februari 2014, dengan pertimbangan: tanggal 18 ada event kantor, 19 menyelesaikan pekerjaan berhubungan dengan event tanggal 18 dan seluruh surat ijin kuliah, 20 mulai cuti bersantai di rumah dan ke salon, 21 kedua orang tua dating dari jawa, dan tanggal 22 ke RS untuk operasi.
Setelah keputusan tersebut saya mulai mencari info tentang perawatan pasca operasi, apa saja yang bisa membantu mempercepat penyembuhan bekas sayatan, bagaimana mengurangi rasa sakit dan beberapa hal lain. Saya tipe orang yang ingin mempunyai gambaran apa yang akan dihadapi, sehingga toleransi untuk kemungkinan terburuk semakin meningkat.

Tapi manusia berencana, Alloh yang menentukan segalanya.