Beberapa hasil jahitan saya yg fotonya masih tersimpan di hp. Semoga lain kali bisa menuliskan 'sew along' proyek berikutnya.
Sabtu, 17 Mei 2014
Senin, 05 Mei 2014
Jarang Romantis
Beberapa bulan lalu, ketika jam pulang kantor saya dan si
sulung (2 tahun) mampir ke tempat kerja suami. Setelah pekerjaan hari itu
selesai kami bertiga ke parkiran motor untuk kemudian pulang. Saat bersiap naik
motor, suami membantu saya untuk memakai helm karena tangan saya sedang
memegang si sulung, tiba-tiba dari belakang kami terdengar “Cieee…
romantisnya!” yang ternyata teman-teman kantor suami yang masih berstatus
sebagai lajang. Suami langsung membalas “Makanya cepet nikah,” sementara saya
hanya nyengir.
Dalam perjalanan pulang terjadi monolog di kepala saya.
“Emang makein helm
romantis ya?”
“Iya sih romantis, tapi mengapa nggak terasa romantis ya?”
Akhirnya saya berkesimpulan karena saya sudah terbiasa
dengan itu sehingga greget romantisnya berkurang. Seperti halnya dulu sebelum
menikah saya selalu terkesan ketika menyaksikan di sinetron/drama/film dimana
tokoh pria menyiapkan masakan special untuk wanita pujaan hati, tapi setelah
menikahi seorang pria yang hobi masak saya menjadi “biasa saja” ketika
menyaksikan itu semua.
Kesimpulan lanjutan saya adalah bahwa sebagian besar wanita (atau
paling tidak saya sendiri) akan menganggap sesuatu romantis jika hal tersebut
jarang terjadi. Seperti teman-teman kantor suami yang mengatakan romantis
terhadap tindakan kecil kami karena mungkin mereka jarang mengalami.
Sejak peristiwa tersebut, ditambah hasil mengikuti posting
di Sekolah Pernikahan, saya kembali mencoba lebih menghargai setiap tindakan
suami. Berusaha memberikan sikap terbaik atas hal-hal yang biasa suami lakukan,
menjadikannya sesuatu yang luar biasa. Ketika ngambek karena merasa sebal dengan suami berusaha
mengingat kebaikan suami, bahwa suami romantis dengan cara yang tidak biasa.
Pada kesempatan lain nonton K-drama bareng suami, pas ada
adegan pemeran utama pria dan wanita melihat kembang api bersama, saya nyletuk “Wah romantisnya.” Niat hati
nyletuk demikian agar suami ngajakin
nonton kembang api. Tapi suami malah jawab ”emang
kayak gitu romantis?”. Saya kehilangan kata-kata. Ingin rasanya protes ,
tapi akhirnya berfikir, jangan-jangan saya menganggap suami tidak romantis
karena kami mempunyai pengertian yang berbeda tentang romantis.
So, ibu-ibu, jika merasa suami tidak romantis, jangan-jangan
frekuensi kita dengan pasangan tidak sama dalam hal romantis. Wanita biasanya
menganggap hal-hal yang sering dilakukan pemeran utama dalam drama adalah hal
romantis, sementara pria? Entahlah, belum sempat saya Tanya ke suami bagaimana
pendapatnya tentang romantis. Dan karena pria di dunia nyata tidak mempunyai
sutradara dan penulis scenario yang akan mengarahkan mereka untuk bertindak
romantis ala drama, jadi sebaiknya jangan gunakan standar drama untuk menilai
keromantisan pasangan kita.
Terakhir, untuk lelakiku yang mencintaiku dengan caranya
yang tidak biasa, yang selalu romantis setiap harinya (meski terkadang lupa
bahwa dirimu lelaki ter-romantis sedunia)
Happy anniversary dear…
Terima kasih atas segala kesabaranmu
Terima kasih atas pengertianmu
Terima kasih telah membuatku merasa wanita teristimewa
dengan caramu yang sederhana
Terima kasih telah memilih dan menerimaku
Terima kasih kau cinta aku
Terima kasih untuk 4 tahun perjalanan yang luar biasa
Terima kasih
Aku mencintaimu, suamiku.
Tulisan ini dimuat di web Sekolah Pernikahan
Selasa, 29 April 2014
Cerita Kelahiran Tsani: A Whole New Experience (Bagian III)
“Kakinya sudah
keluar!” seru sang bidan. Menurut abah, satu kaki sudah keluar hingga pangkal
paha dan kaki satunya baru muncul hingga pergelangan. Bidan dan dokter jaga UGD
bolak-balik nggak jelas. Salah satu
di antaranya menelpon dokter SPOG, yang lain entah melakukan apa membuat abah
berseru panic sekaligus jengkel “Bu, ini bisa dipegang dulu nggak sih?”
Seorang bidan menenangkan Abah
dan mengatakan kepada yang lain untuk segera menarik ranjang saya kea rah kamar
melahirkan. Seperti ketika melahirkan Hanan, Abah tidak diijinkan untuk
menemani, namun kali ini karena kami berada dalam kondisi yang harus ditangani
dengan segera.
Ranjang saya berada sejajar
dengan ranjang melahirkan, para bidan meminta saya untuk bergeser pindah ke
ranjang melahirkan. Saya berusaha untuk bergerak, tapi tenaga saya telah
menguap ketika melahirkan kaki tadi. Para bidan menguatkan saya, tapi saya
hanya mampu menggeleng. Akhirnya seorang bidan naik ke ranjang saya meletakkan
tangan kanan di bawah leher saya sementara tangan kiri berada di bawah lutut,
seseorang memegang punggung, lalu ada juga yang memegang kaki saya. dengan
bantuan tiga orang, yang seluruhnya wanita, saya berpindah.
Setelah kaki saya berada pada
posisi, para bidan tersebut mulai menyemangati untuk mengejan, ada pula yang
berulang kali melafalkan “laa hawla wa laa
quwwata illa billah”. Beberapa kali mengejan namun
tidak efektif membuat seseorang diantara mereka mengucapkan “Epis!”. Bidan di
samping kiri mengambil gunting, saya sudah bersiap dengan rasa sakit lalu bidan
tersebut mengembalikan gunting pada tempatnya. “He? Udah episnya?” saya bertanya dalam hati karena saya tidak
merasakan apapun. Tak sempat saya bengong
lebih lama bidan kembali menginstruksikan untuk mengejan. “Berjuang untuk
bayinya Bu!”. Saya mengejan sekuat tenaga sampai akhirnya kehabisan nafas, saya
merasakan sesuatu yang besar telah keluar, tapi ternyata
“Ayo bu, berjuang
lagi. Kepalanya belum keluar”
“APA?” teriak saya tapi hanya dalam hati
karena sudah habis tenaga untuk mengejan terakhir kali.
Mencoba untuk
mengatur nafas hingga nafas saya cukup stabil, lalu dimulai dengan tarikan nafas
panjang saya kembali mengejan.
Jika ada yang
mengandaikan melahirkan bayi seperti mengejankan sebuah semangka, itu adalah
yang saya rasakan ketika mengejankan kepala Tsani. Saya mengejan panjang sampai
seorang diantara penolong persalinan saya berseru “Alhamdulillah!” lalu
meletakkan Tsani yang pucat di atas perut saya. Tidak terdengar tangis, saya
hanya melihat kepalanya yang hampir kebiruan. Dokter jaga UGD dan perawat yang
tadi mendampingi langsung membawa Tsani keluar, kembali saya merasa waktu
berjalan lambat sampai akhirnya terdengar suara tangis bayi malam itu.
“Tadi lahir jam
berapa?” Tanya seorang bidan kepada rekannya, tapi yang ditanya hanya
menggeleng. “Mungkin sekitar jam 10.15” celetuk yang lain. Menurut Abah dari
keluar lift sampai Tsani dibawa keluar dari ruang melahirkan hanya berlangsung
sekitar 10 menit, tapi bagi saya lama sekali.
Di antara suara
bidan dan perawat yang sedang mengatur nafas terdengar dengan jelas suara Abah
yang melafalkan azan di ruang sebelah. Dan untuk pertama kalinya saya melihat
orang-orang yang tadi mengelilingi saya dengan wajah tegang kini tersenyum. Para
penolong persalinan saya tidak sempat mengganti baju seragamnya dengan pakaian
tindakan. Darah saya dan meconium Tsani menempel dibaju mereka.
Bidan mencoba
membantu untuk melahirkan plasenta (ari-ari), dua kali menyuntikkan induksi
termasuk memasang infuse tapi ternyata plasenta tidak lahir juga. Sehingga harus
dikeluarkan secara manual oleh dokter. Selama masa menunggu dokter untuk tiba,
mereka tetap menemani saya diruang melahirkan. Sempat saya minta untuk IMD dan
bidan menjelaskan bahwa kondisi saya dan Tsani sama-sama tidak stabil untuk melakukan
IMD.
Dari obrolan
mereka akhirnya saya tahu mengapa tadi saya sempat mampir ke ruang bersalin. Bidan
yang meminta untuk masuk ruang bersalin hanya mendapat info dari UGD saya masih
bukaan lengkap saja, tanpa tahu jika ketuban telah pecah dan kaki sudah lahir. Karena
memang ketuban pecah dan kaki lahir terjadi selama perjalanan dari UGD menuju
ruang bersalin. Saya cuma nyengir mendengar itu.
Seorang bidan
kembali menanyakan kepada saya, “Sudah tahu kondisi kehamilan seperti
itu, kenapa baru sekarang ke rumah sakit?” kali ini dengan nada lebih ramah dan
santai, dan hanya saya jawab jika kontraksi yang terjadi berbeda dengan
kontraksi pada proses melahirkan Hanan sehingga saya santai saja. Sayapun mengerti
kekhawatiran mereka karena proses melahirkan pervaginam pada posisi sungsang
adalah proses yang cukup beresiko sehingga seharusnya dipersiapkan secara
matang.
Dokter jaga UGD kembali ke
ruangan dan berbincang dengan bidan serta perawat sambil mereview apa yang baru
saja terjadi. “Untung nggak ada yang
tersangkut. Biasanya bahu tersangkut jika melahirkan sungsang.” Saya kemudian
menanyakan tentang kaki bayi dan dijawab bahwa semua baik.
Dokter akhirnya datang. Satu hal
yang bisa saya katakan tentang proses pengeluaran plasenta secara manual adalah
proses tersebut menyakitkan dan jika memungkinkan mintalah obat bius. Tak perlu
bertanya kepada saya detailnya, karena saya sedang berusaha tetap bersabar dan
bersyukur atas proses tersebut.
Setelah semua proses selesai saya
masih berada di ruangan itu selama 1 jam untuk observasi. Satu persatu para
penolong saya meninggalkan tempat, kembali ke pos masing-masing. Hanya seorang
bidan yang sedang merapikan ruangan, itupun kadang keluar dalam waktu yang
cukup lama. Saya dilarang tidur, tapi tidak mempunyai teman bicara. Karena saat
itu abah sedang ke PMI untuk mengurus keperluan transfusi darah saya karena HB
saya rendah.
Kami berpindah ke ruang bersalin
lagi setelah satu jam, sekitar pukul 12 malam. Pada saat itu tidak ada pasien
lain sehingga suasana cukup tenang. Berdua bersama abah, merasa sedikit aneh
karena biasanya ada Hanan ataupun Tsani yang bergerak-gerak di perut. Tsani
berada di ruang observasi, keesokan harinya saya menemuinya di NICU dan
ternyata Tsani harus berada di incubator selama 2 hari.
Sekitar pukul 7 pagi, sebelum meninggalkan
kamar bersalin untuk menuju kamar perawatan kami berpamitan pada bidan jaga
yang membantu, sekaligus meminta maaf atas segala kehebohan yang terjadi.
Kami bersyukur telah melewati
semua proses tersebut. Semua yang terjadi merupakan kemudahan yang diberikan
oleh Allah Swt. Usaha-usaha yang kami lakukan sama sekali tidak merujuk pada
kemudahan dalam melahirkan sungsang karena yang kami usahakan posisi vertex,
tapi Allah yang menentukan untuk kami melahirkan pada posisi sungsang dengan
mudahnya. Saya bahkan sama sekali tidak mempelajari tentang melahirkan
pervaginam untuk sungsang. Hanya abah yang membaca dan menyampaikan sekilas
kepada saya yang pada saat itu sama sekali tidak tertarik untuk mempelajarinya.
Saya baru membaca tentang persalinan sungsang ketika menyusun tulisan ini.
Jadikan kami orang yang selalu bersyukur dan bersabar atas tiap
ketetapanMu. Setiap capaian yang Engkau berikan bukan karena usaha dan doa
kami, melainkan semua adalah ketetapanMe. Kami berdoa dan berusaha dalam rangka
menaati perintahMu.
Tulisan ini disusun hanya sebagai
sarana berbagi pengalaman saja, bukan untuk dijadikan rujukan. Setelah mempelajari
tentang persalinan sungsang, sepertinya sebagian besar dokter tetap akan
menyarankan untuk mengambil tindakan operasi terjadwal dengan kondisi saya dan
saya berencana untuk mengikuti saran mereka. Tetapi melahirkan normal pada posisi
sungsang masih sangat mungkin dilakukan. Saya adalah wanita generasi ketiga
yang melahirkan sungsang (saya tidak tahu apakah nenek buyut saya melahirkan
sungsang atau tidak). Nenek saya melahirkan salah satu anaknya dengan sungsang,
mama saya melahirkan adik bungsu saya yang sungsang.
Beberapa saran saya setelah
melewati seluruh proses ini adalah
1. Lakukan
kunjungan ke dokter/bidan minimal 3 kali selama masa kehamilan, pada awal
kehamilan, pertengahan, dan akhir. Jika di awal trimester III, diketahui bahwa
janin “malposisi” lakukan usaha untuk membantu bayi berputar hingga berada pada
posisinya. Sebagian besar janin memang akan berputar dengan sendirinya. Tapi tak
ada ruginya untuk bersujud lebih lama, melakukan invertion karena latihan
tersebut bisa meringankan beban pelvic.
2. Jika
pada akhirnya posisi janin masih sungsang dan kemungkinan berputar makin kecil
diskusikan pada tenaga kesehatan tentang rencana persalinan yang diinginkan. Beberapa
“syarat” melahirkan sungsang antara lain:
a.
Janin tidak terlalu besar, 2500-3500 gram
(terpenuhi, Tsani 3200 gram)
b.
Panggul ibu cukup besar (sepertinya terpenuhi)
c.
Tidak ada kelainan jalan lahir (terpenuhi)
d.
Kontraksi dan bukaan lancar (terpenuhi)
e.
Pembukaan lengkap (terpenuhi)
f.
Posisi janin memungkinkan
Biasanya yang “diijinkan”
untuk mencoba adalah ketika bayi berada pada posisi “letak bokong/frank breech”
dimana pantat bayi masuk ke panggul sedangkan kakinya memanjang ke atas. Posisi
“sungsang sempurna/complete breech” dimana janin seperti berjongkok di dalam
panggul. Posisi lain ada “sungsang sebagian/incomplete/footling breech” dimana
salah satu kaki memasuki panggul. Posisi Tsani sendiri masih oblique hingga
bukaan lengkap, tapi kedua kaki sudah masuk jalan lahir, jadi yang paling
menggambarkan mungkin posisi sungsang sebagian.
3. Jika
telah diputuskan untuk menjalani persalinan sungsang dengan normal, usahakan
berada dalam kondisi rileks ketika kala persalinan I karena ketika santai
kemungkinan kemunduran persalinan lebih rendah. Persiapkan tenaga ekstra,
karena persalinan sungsang membutuhkan tenaga yang lebih besar disbanding persalinan
pada posisi kepala.
4. Jika
ternyata proses melahirkan tidak berjalan sesuai dengan harapan kita, cobalah
untuk mengikhlaskan. Jangan terjebak dengan rasa menyesal apalagi di awal-awal
melahirkan karena saat itu bayi sangat membutuhkan kehadiran ibunya. Dan produksi
ASI juga terkait erat dengan pengelolaan emosi. Mintalah dukungan kepada orang-orang
yang akan menemani kita setelah melahirkan. Sampaikan apa yang kita inginkan
sehingga mereka akan memberikan dukungan.
Jumat, 25 April 2014
Cerita Kelahiran Tsani: A Whole New Experience (Bagian II)
Tanggal 18 pagi,
setelah mengantar Hanan ke TPA meluncur ke hotel tempat diselenggarakannya
event kantor. Sebelum acara dimulai duduk-duduk membantu bagian penerima tamu,
beberapa kali mendesis karena mules. Seorang teman bertanya khawatir “udah mulai
kontraksi?” dan saya jawab dengan santai jika ini hanya mules karena diare. Dan
akhirnya ke toilet, “bersemedi” cukup lama karena mules yang hilang timbul.
Acara dimulai dan saya lebih memilih duduk, dan bersyukur saya tidak menjadi
bagian tim dokumentasi. Mungkin ketua panitia tidak tega jika harus melihat
bumil buncit nenteng kamera dslr
sambil nungging-ngungging untuk ngambil
gambar.
Di tengah-tengah
acara saya mulai menyadari jika janin tidak bergerak. Dicolek-colekpun tidak
membalas. Berusaha menenangkan diri sambil berfikir janin diam karena suara di luar
cukup berisik dan keras. Setelah acara selesai yang bertepatan dengan jam makan
siang, pulang ke rumah untuk istirahat. Setelah sholat, sambil merebahkan badan
meminta abah untuk mencari detak jantung janin (dari kehamilan pertama abah
selalu berhasil mendeteksi suara detak jantung janin diantara suara detak
jantung dan perut ummah), setelah mencari-cari agak lama dengan menempelkan
telinga ke perut Alhamdulillah terdengar, dan normal. Awalnya tidak ingin
kembali ke kantor agar bisa istirahat di rumah sambil mengerjakan berita event
kantor yang baru terselenggara, tapi karena listrik padam dan baterai laptop
tidak dalam kondisi penuh akhirnya memutuskan kembali ke kantor.
Pukul 17.30 sampai
ke rumah sepulang dari kantor dan listrik masih belum juga menyala. Menidurkan Hanan,
menelpon Mama di Jawa menanyakan beberapa barang titipan untuk dibawa ketika
berangkat ke Pekanbaru, mengobrol dengan abah sambil diselingi berkali-kali ke
kamar mandi dalam keadaan gelap. Saat itu hanya berfikir tadi siang salah makan
ketika acara di hotel. Makin lama makin sering ke kamar mandi tapi sakitnya
masih bisa ditahan. Sekitar jam 8 malam sudah mulai membicarakan kemungkinan
jika berangkat malam ini. Semua barang yang dibutuhkan untuk ke rumah sakit
sudah disiapkan beberapa hari sebelumnya. Tapi kami belum siap, karena
rencana-rencana yang telah kami susun. Sempat abah mengatakan jika memang masih
bisa bertahan tetap tinggal di rumah saja, khawatir pihak rumah sakit over
reacted, saya sendiri juga mengatakan jika berangkat sekarang pasti akan
langsung operasi, sedangkan kami merasa belum siap jika harus menjalani operasi
malam itu juga.
Sekitar jam 9
merasa jika sudah harus ke rumah sakit karena rasa sakit semakin intens,
memutuskan untuk berangkat menggunakan motor dan menitipkan Hanan ke rumah
pengurus TPA. Setelah sholat isya’ dengan duduk karena khawatir jika kontraksi
muncul ketika sedang berdiri, bolak balik jalan di dalam rumah mempersiapkan
hal-hal kecil yang belum masuk ke dalam tas, jika tiba-tiba kontraksi muncul
ambil posisi sujud untuk meringankan rasa mules. Tepat ketika hendak menenteng
tas untuk dibawa keluar sebuah kontraksi disertai nyeri di bagian pelvic
membuat saya kehilangan tenaga untuk berdiri dan langsung merubah rencana
keberangkatan: minta tolong diantar dengan mobil pemilik kontrakan. Alhamdulillah,
dengan sigap mereka membantu. Setelah mampir di TPA, perjalanan ke rumah sakit
dilanjutkan.
Beberapa kali
kontraksi dating, hingga ketika di mobil saya masih berpikir bahwa mulas saya
adalah mulas diare. Dengan pikiran tidak ingin mengotori jok mobil dan bahwa
yang mengantar saya adalah ibu hamil muda dan tidak ingin meninggalkan kesan
bahwa melahirkan adalah peristiwa menyakitkan untuknya (setelah melahirkan baru
saya tahu jika yang hamil adalah kakaknya, bukan yang mengantar saya malam itu),
saya bisa menahan diri untuk tidak melepaskan otot-otot sphincter, mengatur
napas, dan meminta abah untuk menekan sebuah titik di bagian bahu untuk
mengurangi rasa sakit.
Tiba
di lobi rumah sakit, satpam dengan sigap menanyakan keperluan ketika pintu
mobil terbuka, begitu mendengar bahwa aka nada yang melahirkan, satpam tersebut
langsung mengambil kursi roda yang menempatkannya di depan pintu di sebelah
saya. sebelum berpindah ke kursi roda sebuah kontraksi muncul lagi, setelah
hilang baru saya keluar dari mobil dan duduk di kursi roda. Satpam dan seorang
perawat yang mendampingi mengantar ke UGD, sementara abah diminta ke bagian administrasi.
Ketika
di UGD saya masih bisa menjawab semua pertanyaan yang diberikan oleh perawat
dan dokter jaga tentang rentang kontraksi (yang saya tidak terlalu yakin saya
jawab dengan benar karena ketika itu relatifitas waktu bagi saya sangat
membingungkan), usia kehamilan, dokter yang menangani, alergi obat, rencana
operasi, alasan operasi. Seorang bidan meraba perut saya dan kembali menanyakan
kenapa harus operasi padahal posisi oblique dan menunjuk bagian kepala yang
berada di panggul kiri. Dia menyatakan bahwa masih bisa dibantu normal jika
digeser, sambil “mengoyang” janin yang masih di dalam perut saya. saya langsung
menjawab jika yang dipegang olehnya bukanlah kepala melainkan pantat, sedangkan
kepala berada di sini sambil menunjuk rusuk kanan saya. Dari pernyataan bidan
tersebut saya menyimpulkan, jika semua yang hanya melihat dan meraba perut saya
akan tertipu karena berfikir bahwa posisi pantat di isi oleh kepala, sedangkan
posisi kepala di isi oleh pantat janin, dan ada 5 orang yang tertipu. Setelah
itu dating seorang perawat untuk mengambil sample darah.
Semua
berlangsung tenang sampai seorang bidan dating untuk melakukan pemeriksanaan
dalam dan menyatakan bahwa saya sudah pembukaan lengkap. Saya mendengar salah
satu orang di antara meraka menelpon bagian kamar bersalin untuk mempersiapkan
diri. Seorang perawat menanyakan sesuatu ke bidan yang melakukan VT dan dijawab
“Saya nggak berani sentuh. Yang di bawah bukan kepala. Bergerak, mungkin tangan
atau kaki.”
Ditengah
kegaduhan ruang UGD akhirnya abah menemani saya setelah menyelesaikan urusan
administrasi. Seorang bidan “memarahi” abah, “Bapak ini bagaimana? Sudah tahu
kondisi kehamilan seperti itu, kenapa baru sekarang ke rumah sakit?”
Tirai penyekat
di buka, seorang perawat mulai menarik tempat tidur yang saya tempati. Sebuah kontraksi
mulai muncul, ketika melihat gelagat saya perawat tersebut langsung berseru “Bu,
jangan ngejan! Nanti ketuban pecah, posisi bayi sungsang bu.” Entah mengapa
saya yang sedari awal bisa mengontrol diri untuk tidak mengejan, mendengar ucapan
perawat tadi saya malah ingin sekali mengejan. Abah yang berada di samping saya
menguatkan untuk tidak mengejan, yang lagi-lagi bagi saya terima sebagai
perintah untuk mengejan.
Dan..
“Pecah!” seru
saya ketika merasakan guyuran air ketuban.
Ranjang saya
didorong ke lift untuk menuju ruang bersalin di lantai 2. Di lift saya ditemani
perawat sementara abah naik lewat tangga. Kembali perawat mengingatkan untuk
tidak mengejan “Bu, jangan mengejan. Kasihan jika bayinya keluar, itu kaki yang
di bawah.” Lagi-lagi kata ‘jangan’ seolah-olah menjadi sebuah perintah, sayapun
mengejan. Dalam sekali mengejan saya merasakan sesuatu telah keluar tapi tidak
bergerak.
Dalam detik-detik
yang terasa panjang, ditengah koridor dalam perjalanan menuju ruang bersalin
saya mulai merasakan tendangan di paha saya membuat saya berseru penuh kelegaan
karena mengetahui bahwa yang keluar tersebut hidup “Bergerak!”
Dengan gerak
serba cepat, ranjang di dorong menuju ke ruang melahirkan. Tapi bidan jaga di
ruang bersalin meminta untuk masuk ke ruang bersalin dulu. Begitu masuk ke
ruang bersalin dan satpam yang membantu mendorong ranjang keluar dari ruangan,
bidan membuka selimut saya dan panic sesi dua dimulai.
“Kakinya sudah
keluar!” seru sang bidan. Menurut abah, satu kaki sudah keluar hingga pangkal
paha dan kaki satunya baru muncul hingga pergelangan. Bidan dan dokter jaga UGD
bolak-balik nggak jelas. Salah satu
di antaranya menelpon dokter SPOG, yang lain entah melakukan apa membuat abah
berseru panic sekaligus jengkel “Bu, ini bisa dipegang dulu nggak sih?”
Cerita Kelahiran Tsani: A Whole New Experience (Bagian I)
Pernah melahirkan normal satu
kali tidak membuat saya menjadi orang yang berpengalaman melahirkan, karena
setiap peristiwa hamil-bersalin-melahirkan-menyusui bisa menjadi rangkaian yang
selalu berbeda meskipun dialami oleh wanita yang sama.
Kehamilan yang ketiga ini
merupakan sebuah kehamilan yang diharapkan tapi tidak direncanakan. Diharapkan
setelah kejadian blighted ovum pada kehamilan kedua, tidak direncanakan karena
kami masih dalam masa penyusuan anak pertama.
Dari kehamilan pertama kami
merencanakan untuk menyusui Hanan paling tidak selama 3 tahun, oleh karenanya
ketika hamil kami memutuskan untuk tetap menyusui selama hamil atau nursing while pregnant (NWP). Kontraksi
ringan menjadi hal yang biasa, dan proses menyusui terus berjalan hingga bulan
ketujuh kehamilan berakhir, karena ketika itu saya terpaksa menginap di rumah
sakit dan menjadi menyakitkan jika Hanan tetap menyusu.
Usia kehamilan tujuh bulan dengan
melihat hasil USG, dokter menyatakan posisi janin oblique dengan kepala di
rusuk kanan dan pantat di atas panggul kiri. Dokter menyarankan untuk
memperlama sujud guna membantu bayi berputar. Dua minggu kemudian mengunjungi
bidan yang kami rencanakan akan membantu persalinan. Melalui perabaan perut
bidan menyatakan posisi masih oblique tapi kepala sudah ada dibawah.
Pada kunjungan ke dokter
berikutnya, pada saat UK 8 bulan, dokter menyatakan posisi masih oblique dengan kepala di atas.
Dan kali dokter sudah menyarankan untuk mengambil pilihan SC, karena
kemungkinan untuk bayi berputar semakin kecil.
Galau? Tentu. Akhirnya memutuskan
untuk menemui dokter lain untuk mendapatkan pendapat kedua. Kali ini kami
menemui dokter yang sudah dikenal pro normal. Dokter tersebut terkenal dengan
antrian hingga dini hari dan booking-nomor-hari-ini-untuk-periksa-bulan-depan,
tapi dengan kekuatan silahturahmi
;) kami mendapat nomor antrian
khusus sore untuk hari itu juga. Diagnosis dokter keduapun sama, tapi di akhir
sesi konsultasi dokter menyatakan tetap bisa melahirkan normal meskipun posisi
sungsang.
Pada saat itu kami bingung,
apakah kami akan membantu bayi berada pada posisi sungsang sempurna dengan
kepala di atas, atau turun pada posisi vertex, atau langsung ambil keputusan
untuk SC. Bahkan saya sendiri bingung harus meminta apa dalam doa saya. Ada
ketakutan saya akan kecewa ketika saya meminta untuk lahir normal ternyata
Allah berkehendak untuk saya melahirkan untuk SC. Saya takut bahwa saya tidak
bisa menerima apapun yang Allah berikan, juga takut berharap terlalu tinggi
bahwa bayi akan berputar kemudian lahir normal. Sampai akhirnya saya hanya
mampu berdoa agar saya selalu bersyukur dan bersabar dengan semua proses
persalinan yang harus saya hadapi. Jika ada ungkapan “man propose, Allah
dispose” maka proposal saya waktu itu hanya berisi harapan tentang sabar dan
syukur. Tidak ada visualisasi bahwa janin berputar, lalu saya akan melahirkan
nyaman dll. Karena saya tahu diri saya sendiri, jika saya sangat berharap akan
sesuatu tapi keputusan Allah lain saya pasti akan kecewa. Dan saya tidak ingin
larut dalam kecewa di awal-awal masa menyusui dimana manajemen stress sangat
dibutuhkan.
Meski tidak berharap terlalu
tinggi, kami tetap mengusahakan secara maksimal. Selama satu bulan kami
melakukan banyak hal untuk membantu janin berputar. Knee-chest, invertion,
rebozo, memancing dengan cahaya senter, kompres panas dingin, mengoles
peppermint essential oil dan lainnya. Kami juga mengunjungi paraji yang bisa
membantu memutar bayi. Sang paraji tidak melakukan pijatan yang secara nyata
memutar bayi, hanya memposisikan bayi sehingga lebih mudah berputar, proses
pemijatan juga tidak berlangsung lama karena kami pijat pagi di hari kerja.
Keesokkan harinya ketika pijat lagi, beliau mengatakan bayi sudah berputar,
yang awalnya posisi pantat telah diisi kepala. Ternyata ketika periksa USG
keesokan harinya posisi janin sama sekali tidak berubah -_- . Namun demikian
kami tidak merasa rugi dengan semua usaha yang dilakukan. Semua kegiatan
tersebut, terutama pijat, berhasil meringankan tekanan di pelvic dan membantu
kami melewati masa-masa hamil tua dimana kaki kecil janin yang kadang menendang
sendi paha dan membuat kehilangan keseimbangan.
Pada kunjungan terakhir ke dokter
pertama, posisi janin tidak berubah. Kami mulai membicarakan tentang scenario
operasi. Sebenarnya kami ingin menanti sampai kontraksi muncul, tapi dokter
menyarankan untuk operasi terjadwal karena khawatir tali pusat membumbung,
yaitu keadaan dimana ketuban telah pecah dan tali pusat keluar. Resiko ini
lebih besar pada janin dengan posisi sungsang disbanding dengan bayi pada
posisi vertex. Pada posisi vertex jalan lahir tertutup oleh kepala bayi
sehingga celah yang tersedia lebih kecil, sedangkan pada posisi sungsang masih
celah yang tersedia lebih besar karena jalan lahir tidak tertutup sempurna.
Apalagi posisi kami berada oblique dimana tidak ada yang menghalangi jalan
lahir.
Kamipun melakukan kunjungan akhir
(15 Februari 2014) ke dokter kedua. Dokter menyatakan tidak bisa memutar bayi
dari luar dengan metode ECV (External
Cephalic Version) karena posisi kepala janin berdekatan dengan plasenta.
Kemungkinan untuk sungsang sempurna juga tidak memungkinkan karena posisi
plasenta berada di atas sehingga bayi tidak bisa masuk. Satu-satunya harapan
(ketika itu) untuk lahir normal adalah bayi berputar pada posisi vertex. Dokter
menyatakan untuk operasi jika posisi janin tidak berubah, dokter tidak
memberikan opsi melahirkan normal jika masih oblique dengan kepala di atas.
Dokter juga menyatakan untuk operasi terjadwal ketika kami menanyakan
kemungkinan untuk operasi ketika sudah masuk kala persalinan karena khawatir
fetal distress.
Diskusi kami menghasilkan untuk
operasi terjadwal tanggal 22 Februari 2014, dengan pertimbangan: tanggal 18 ada
event kantor, 19 menyelesaikan pekerjaan berhubungan dengan event tanggal 18
dan seluruh surat ijin kuliah, 20 mulai cuti bersantai di rumah dan ke salon,
21 kedua orang tua dating dari jawa, dan tanggal 22 ke RS untuk operasi.
Setelah keputusan tersebut saya
mulai mencari info tentang perawatan pasca operasi, apa saja yang bisa membantu
mempercepat penyembuhan bekas sayatan, bagaimana mengurangi rasa sakit dan
beberapa hal lain. Saya tipe orang yang ingin mempunyai gambaran apa yang akan
dihadapi, sehingga toleransi untuk kemungkinan terburuk semakin meningkat.
Tapi manusia berencana, Alloh
yang menentukan segalanya.
Langganan:
Postingan (Atom)