Jumat, 25 April 2014

Cerita Kelahiran Tsani: A Whole New Experience (Bagian II)



Tanggal 18 pagi, setelah mengantar Hanan ke TPA meluncur ke hotel tempat diselenggarakannya event kantor. Sebelum acara dimulai duduk-duduk membantu bagian penerima tamu, beberapa kali mendesis karena mules. Seorang teman bertanya khawatir “udah mulai kontraksi?” dan saya jawab dengan santai jika ini hanya mules karena diare. Dan akhirnya ke toilet, “bersemedi” cukup lama karena mules yang hilang timbul. Acara dimulai dan saya lebih memilih duduk, dan bersyukur saya tidak menjadi bagian tim dokumentasi. Mungkin ketua panitia tidak tega jika harus melihat bumil buncit nenteng kamera dslr sambil nungging-ngungging untuk ngambil gambar.
 
10 jam jelang melahirkan
Di tengah-tengah acara saya mulai menyadari jika janin tidak bergerak. Dicolek-colekpun tidak membalas. Berusaha menenangkan diri sambil berfikir janin diam karena suara di luar cukup berisik dan keras. Setelah acara selesai yang bertepatan dengan jam makan siang, pulang ke rumah untuk istirahat. Setelah sholat, sambil merebahkan badan meminta abah untuk mencari detak jantung janin (dari kehamilan pertama abah selalu berhasil mendeteksi suara detak jantung janin diantara suara detak jantung dan perut ummah), setelah mencari-cari agak lama dengan menempelkan telinga ke perut Alhamdulillah terdengar, dan normal. Awalnya tidak ingin kembali ke kantor agar bisa istirahat di rumah sambil mengerjakan berita event kantor yang baru terselenggara, tapi karena listrik padam dan baterai laptop tidak dalam kondisi penuh akhirnya memutuskan kembali ke kantor.

Pukul 17.30 sampai ke rumah sepulang dari kantor dan listrik masih belum juga menyala. Menidurkan Hanan, menelpon Mama di Jawa menanyakan beberapa barang titipan untuk dibawa ketika berangkat ke Pekanbaru, mengobrol dengan abah sambil diselingi berkali-kali ke kamar mandi dalam keadaan gelap. Saat itu hanya berfikir tadi siang salah makan ketika acara di hotel. Makin lama makin sering ke kamar mandi tapi sakitnya masih bisa ditahan. Sekitar jam 8 malam sudah mulai membicarakan kemungkinan jika berangkat malam ini. Semua barang yang dibutuhkan untuk ke rumah sakit sudah disiapkan beberapa hari sebelumnya. Tapi kami belum siap, karena rencana-rencana yang telah kami susun. Sempat abah mengatakan jika memang masih bisa bertahan tetap tinggal di rumah saja, khawatir pihak rumah sakit over reacted, saya sendiri juga mengatakan jika berangkat sekarang pasti akan langsung operasi, sedangkan kami merasa belum siap jika harus menjalani operasi malam itu juga.

Sekitar jam 9 merasa jika sudah harus ke rumah sakit karena rasa sakit semakin intens, memutuskan untuk berangkat menggunakan motor dan menitipkan Hanan ke rumah pengurus TPA. Setelah sholat isya’ dengan duduk karena khawatir jika kontraksi muncul ketika sedang berdiri, bolak balik jalan di dalam rumah mempersiapkan hal-hal kecil yang belum masuk ke dalam tas, jika tiba-tiba kontraksi muncul ambil posisi sujud untuk meringankan rasa mules. Tepat ketika hendak menenteng tas untuk dibawa keluar sebuah kontraksi disertai nyeri di bagian pelvic membuat saya kehilangan tenaga untuk berdiri dan langsung merubah rencana keberangkatan: minta tolong diantar dengan mobil pemilik kontrakan. Alhamdulillah, dengan sigap mereka membantu. Setelah mampir di TPA, perjalanan ke rumah sakit dilanjutkan.

Beberapa kali kontraksi dating, hingga ketika di mobil saya masih berpikir bahwa mulas saya adalah mulas diare. Dengan pikiran tidak ingin mengotori jok mobil dan bahwa yang mengantar saya adalah ibu hamil muda dan tidak ingin meninggalkan kesan bahwa melahirkan adalah peristiwa menyakitkan untuknya (setelah melahirkan baru saya tahu jika yang hamil adalah kakaknya, bukan yang mengantar saya malam itu), saya bisa menahan diri untuk tidak melepaskan otot-otot sphincter, mengatur napas, dan meminta abah untuk menekan sebuah titik di bagian bahu untuk mengurangi rasa sakit.

Tiba di lobi rumah sakit, satpam dengan sigap menanyakan keperluan ketika pintu mobil terbuka, begitu mendengar bahwa aka nada yang melahirkan, satpam tersebut langsung mengambil kursi roda yang menempatkannya di depan pintu di sebelah saya. sebelum berpindah ke kursi roda sebuah kontraksi muncul lagi, setelah hilang baru saya keluar dari mobil dan duduk di kursi roda. Satpam dan seorang perawat yang mendampingi mengantar ke UGD, sementara abah diminta ke bagian administrasi.

Ketika di UGD saya masih bisa menjawab semua pertanyaan yang diberikan oleh perawat dan dokter jaga tentang rentang kontraksi (yang saya tidak terlalu yakin saya jawab dengan benar karena ketika itu relatifitas waktu bagi saya sangat membingungkan), usia kehamilan, dokter yang menangani, alergi obat, rencana operasi, alasan operasi. Seorang bidan meraba perut saya dan kembali menanyakan kenapa harus operasi padahal posisi oblique dan menunjuk bagian kepala yang berada di panggul kiri. Dia menyatakan bahwa masih bisa dibantu normal jika digeser, sambil “mengoyang” janin yang masih di dalam perut saya. saya langsung menjawab jika yang dipegang olehnya bukanlah kepala melainkan pantat, sedangkan kepala berada di sini sambil menunjuk rusuk kanan saya. Dari pernyataan bidan tersebut saya menyimpulkan, jika semua yang hanya melihat dan meraba perut saya akan tertipu karena berfikir bahwa posisi pantat di isi oleh kepala, sedangkan posisi kepala di isi oleh pantat janin, dan ada 5 orang yang tertipu. Setelah itu dating seorang perawat untuk mengambil sample darah.

Semua berlangsung tenang sampai seorang bidan dating untuk melakukan pemeriksanaan dalam dan menyatakan bahwa saya sudah pembukaan lengkap. Saya mendengar salah satu orang di antara meraka menelpon bagian kamar bersalin untuk mempersiapkan diri. Seorang perawat menanyakan sesuatu ke bidan yang melakukan VT dan dijawab “Saya nggak berani sentuh. Yang di bawah bukan kepala. Bergerak, mungkin tangan atau kaki.”
Ditengah kegaduhan ruang UGD akhirnya abah menemani saya setelah menyelesaikan urusan administrasi. Seorang bidan “memarahi” abah, “Bapak ini bagaimana? Sudah tahu kondisi kehamilan seperti itu, kenapa baru sekarang ke rumah sakit?”
Tirai penyekat di buka, seorang perawat mulai menarik tempat tidur yang saya tempati. Sebuah kontraksi mulai muncul, ketika melihat gelagat saya perawat tersebut langsung berseru “Bu, jangan ngejan! Nanti ketuban pecah, posisi bayi sungsang bu.” Entah mengapa saya yang sedari awal bisa mengontrol diri untuk tidak mengejan, mendengar ucapan perawat tadi saya malah ingin sekali mengejan. Abah yang berada di samping saya menguatkan untuk tidak mengejan, yang lagi-lagi bagi saya terima sebagai perintah untuk mengejan. 
Dan..

“Pecah!” seru saya ketika merasakan guyuran air ketuban.

Ranjang saya didorong ke lift untuk menuju ruang bersalin di lantai 2. Di lift saya ditemani perawat sementara abah naik lewat tangga. Kembali perawat mengingatkan untuk tidak mengejan “Bu, jangan mengejan. Kasihan jika bayinya keluar, itu kaki yang di bawah.” Lagi-lagi kata ‘jangan’ seolah-olah menjadi sebuah perintah, sayapun mengejan. Dalam sekali mengejan saya merasakan sesuatu telah keluar tapi tidak bergerak.

Dalam detik-detik yang terasa panjang, ditengah koridor dalam perjalanan menuju ruang bersalin saya mulai merasakan tendangan di paha saya membuat saya berseru penuh kelegaan karena mengetahui bahwa yang keluar tersebut hidup “Bergerak!”

Dengan gerak serba cepat, ranjang di dorong menuju ke ruang melahirkan. Tapi bidan jaga di ruang bersalin meminta untuk masuk ke ruang bersalin dulu. Begitu masuk ke ruang bersalin dan satpam yang membantu mendorong ranjang keluar dari ruangan, bidan membuka selimut saya dan panic sesi dua dimulai. 

“Kakinya sudah keluar!” seru sang bidan. Menurut abah, satu kaki sudah keluar hingga pangkal paha dan kaki satunya baru muncul hingga pergelangan. Bidan dan dokter jaga UGD bolak-balik nggak jelas. Salah satu di antaranya menelpon dokter SPOG, yang lain entah melakukan apa membuat abah berseru panic sekaligus jengkel “Bu, ini bisa dipegang dulu nggak sih?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar