Tanggal 18 pagi,
setelah mengantar Hanan ke TPA meluncur ke hotel tempat diselenggarakannya
event kantor. Sebelum acara dimulai duduk-duduk membantu bagian penerima tamu,
beberapa kali mendesis karena mules. Seorang teman bertanya khawatir “udah mulai
kontraksi?” dan saya jawab dengan santai jika ini hanya mules karena diare. Dan
akhirnya ke toilet, “bersemedi” cukup lama karena mules yang hilang timbul.
Acara dimulai dan saya lebih memilih duduk, dan bersyukur saya tidak menjadi
bagian tim dokumentasi. Mungkin ketua panitia tidak tega jika harus melihat
bumil buncit nenteng kamera dslr
sambil nungging-ngungging untuk ngambil
gambar.
Di tengah-tengah
acara saya mulai menyadari jika janin tidak bergerak. Dicolek-colekpun tidak
membalas. Berusaha menenangkan diri sambil berfikir janin diam karena suara di luar
cukup berisik dan keras. Setelah acara selesai yang bertepatan dengan jam makan
siang, pulang ke rumah untuk istirahat. Setelah sholat, sambil merebahkan badan
meminta abah untuk mencari detak jantung janin (dari kehamilan pertama abah
selalu berhasil mendeteksi suara detak jantung janin diantara suara detak
jantung dan perut ummah), setelah mencari-cari agak lama dengan menempelkan
telinga ke perut Alhamdulillah terdengar, dan normal. Awalnya tidak ingin
kembali ke kantor agar bisa istirahat di rumah sambil mengerjakan berita event
kantor yang baru terselenggara, tapi karena listrik padam dan baterai laptop
tidak dalam kondisi penuh akhirnya memutuskan kembali ke kantor.
Pukul 17.30 sampai
ke rumah sepulang dari kantor dan listrik masih belum juga menyala. Menidurkan Hanan,
menelpon Mama di Jawa menanyakan beberapa barang titipan untuk dibawa ketika
berangkat ke Pekanbaru, mengobrol dengan abah sambil diselingi berkali-kali ke
kamar mandi dalam keadaan gelap. Saat itu hanya berfikir tadi siang salah makan
ketika acara di hotel. Makin lama makin sering ke kamar mandi tapi sakitnya
masih bisa ditahan. Sekitar jam 8 malam sudah mulai membicarakan kemungkinan
jika berangkat malam ini. Semua barang yang dibutuhkan untuk ke rumah sakit
sudah disiapkan beberapa hari sebelumnya. Tapi kami belum siap, karena
rencana-rencana yang telah kami susun. Sempat abah mengatakan jika memang masih
bisa bertahan tetap tinggal di rumah saja, khawatir pihak rumah sakit over
reacted, saya sendiri juga mengatakan jika berangkat sekarang pasti akan
langsung operasi, sedangkan kami merasa belum siap jika harus menjalani operasi
malam itu juga.
Sekitar jam 9
merasa jika sudah harus ke rumah sakit karena rasa sakit semakin intens,
memutuskan untuk berangkat menggunakan motor dan menitipkan Hanan ke rumah
pengurus TPA. Setelah sholat isya’ dengan duduk karena khawatir jika kontraksi
muncul ketika sedang berdiri, bolak balik jalan di dalam rumah mempersiapkan
hal-hal kecil yang belum masuk ke dalam tas, jika tiba-tiba kontraksi muncul
ambil posisi sujud untuk meringankan rasa mules. Tepat ketika hendak menenteng
tas untuk dibawa keluar sebuah kontraksi disertai nyeri di bagian pelvic
membuat saya kehilangan tenaga untuk berdiri dan langsung merubah rencana
keberangkatan: minta tolong diantar dengan mobil pemilik kontrakan. Alhamdulillah,
dengan sigap mereka membantu. Setelah mampir di TPA, perjalanan ke rumah sakit
dilanjutkan.
Beberapa kali
kontraksi dating, hingga ketika di mobil saya masih berpikir bahwa mulas saya
adalah mulas diare. Dengan pikiran tidak ingin mengotori jok mobil dan bahwa
yang mengantar saya adalah ibu hamil muda dan tidak ingin meninggalkan kesan
bahwa melahirkan adalah peristiwa menyakitkan untuknya (setelah melahirkan baru
saya tahu jika yang hamil adalah kakaknya, bukan yang mengantar saya malam itu),
saya bisa menahan diri untuk tidak melepaskan otot-otot sphincter, mengatur
napas, dan meminta abah untuk menekan sebuah titik di bagian bahu untuk
mengurangi rasa sakit.
Tiba
di lobi rumah sakit, satpam dengan sigap menanyakan keperluan ketika pintu
mobil terbuka, begitu mendengar bahwa aka nada yang melahirkan, satpam tersebut
langsung mengambil kursi roda yang menempatkannya di depan pintu di sebelah
saya. sebelum berpindah ke kursi roda sebuah kontraksi muncul lagi, setelah
hilang baru saya keluar dari mobil dan duduk di kursi roda. Satpam dan seorang
perawat yang mendampingi mengantar ke UGD, sementara abah diminta ke bagian administrasi.
Ketika
di UGD saya masih bisa menjawab semua pertanyaan yang diberikan oleh perawat
dan dokter jaga tentang rentang kontraksi (yang saya tidak terlalu yakin saya
jawab dengan benar karena ketika itu relatifitas waktu bagi saya sangat
membingungkan), usia kehamilan, dokter yang menangani, alergi obat, rencana
operasi, alasan operasi. Seorang bidan meraba perut saya dan kembali menanyakan
kenapa harus operasi padahal posisi oblique dan menunjuk bagian kepala yang
berada di panggul kiri. Dia menyatakan bahwa masih bisa dibantu normal jika
digeser, sambil “mengoyang” janin yang masih di dalam perut saya. saya langsung
menjawab jika yang dipegang olehnya bukanlah kepala melainkan pantat, sedangkan
kepala berada di sini sambil menunjuk rusuk kanan saya. Dari pernyataan bidan
tersebut saya menyimpulkan, jika semua yang hanya melihat dan meraba perut saya
akan tertipu karena berfikir bahwa posisi pantat di isi oleh kepala, sedangkan
posisi kepala di isi oleh pantat janin, dan ada 5 orang yang tertipu. Setelah
itu dating seorang perawat untuk mengambil sample darah.
Semua
berlangsung tenang sampai seorang bidan dating untuk melakukan pemeriksanaan
dalam dan menyatakan bahwa saya sudah pembukaan lengkap. Saya mendengar salah
satu orang di antara meraka menelpon bagian kamar bersalin untuk mempersiapkan
diri. Seorang perawat menanyakan sesuatu ke bidan yang melakukan VT dan dijawab
“Saya nggak berani sentuh. Yang di bawah bukan kepala. Bergerak, mungkin tangan
atau kaki.”
Ditengah
kegaduhan ruang UGD akhirnya abah menemani saya setelah menyelesaikan urusan
administrasi. Seorang bidan “memarahi” abah, “Bapak ini bagaimana? Sudah tahu
kondisi kehamilan seperti itu, kenapa baru sekarang ke rumah sakit?”
Tirai penyekat
di buka, seorang perawat mulai menarik tempat tidur yang saya tempati. Sebuah kontraksi
mulai muncul, ketika melihat gelagat saya perawat tersebut langsung berseru “Bu,
jangan ngejan! Nanti ketuban pecah, posisi bayi sungsang bu.” Entah mengapa
saya yang sedari awal bisa mengontrol diri untuk tidak mengejan, mendengar ucapan
perawat tadi saya malah ingin sekali mengejan. Abah yang berada di samping saya
menguatkan untuk tidak mengejan, yang lagi-lagi bagi saya terima sebagai
perintah untuk mengejan.
Dan..
“Pecah!” seru
saya ketika merasakan guyuran air ketuban.
Ranjang saya
didorong ke lift untuk menuju ruang bersalin di lantai 2. Di lift saya ditemani
perawat sementara abah naik lewat tangga. Kembali perawat mengingatkan untuk
tidak mengejan “Bu, jangan mengejan. Kasihan jika bayinya keluar, itu kaki yang
di bawah.” Lagi-lagi kata ‘jangan’ seolah-olah menjadi sebuah perintah, sayapun
mengejan. Dalam sekali mengejan saya merasakan sesuatu telah keluar tapi tidak
bergerak.
Dalam detik-detik
yang terasa panjang, ditengah koridor dalam perjalanan menuju ruang bersalin
saya mulai merasakan tendangan di paha saya membuat saya berseru penuh kelegaan
karena mengetahui bahwa yang keluar tersebut hidup “Bergerak!”
Dengan gerak
serba cepat, ranjang di dorong menuju ke ruang melahirkan. Tapi bidan jaga di
ruang bersalin meminta untuk masuk ke ruang bersalin dulu. Begitu masuk ke
ruang bersalin dan satpam yang membantu mendorong ranjang keluar dari ruangan,
bidan membuka selimut saya dan panic sesi dua dimulai.
“Kakinya sudah
keluar!” seru sang bidan. Menurut abah, satu kaki sudah keluar hingga pangkal
paha dan kaki satunya baru muncul hingga pergelangan. Bidan dan dokter jaga UGD
bolak-balik nggak jelas. Salah satu
di antaranya menelpon dokter SPOG, yang lain entah melakukan apa membuat abah
berseru panic sekaligus jengkel “Bu, ini bisa dipegang dulu nggak sih?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar